Memaknai Kehidupan: Sebuah Perjalanan yang Tak Pernah Usai
Memaknai Kehidupan: Sebuah Perjalanan yang Tak Pernah Usai |
uripkuiurup.com - Hari ini, saya sedang melihat beranda Facebook ketika sebuah kenangan lama tiba-tiba menyapa. Foto yang diunggah sebelas tahun lalu muncul kembali, dibagikan ulang oleh seorang sahabat lama, Mas Kholis namanya.
Di foto itu, terlihat kami sedang beristighotsah di sebuah rumah sederhana yang saya kontrak bersama istri, yang mana saya dan istri waktu itu masih dalam hitungan bulan sebagai pasangan suami-istri.
Caption foto itu tertulis: "Dari titik ini kami akan belajar memaknai kehidupan." Sederhana, namun mengandung banyak harapan dan impian yang saat itu masih begitu murni dan menggebu.
Saya teringat momen tersebut: hari pertama kami menempati rumah kontrakan itu, sebuah langkah yang diambil setelah banyak pertimbangan. Sebagai pasangan baru, kami tahu akan banyak tantangan yang harus dihadapi, namun tekad untuk hidup mandiri dan membangun keluarga kecil yang kami impikan membuat segala keraguan terasa ringan.
Kami mengundang teman-teman dari Kalifa Community untuk datang, duduk bersama, berdoa, dan melakukan tirakatan, atau melek’an, sebuah tradisi yang melekat pada kultur Jawa, di mana kita memaknai momen awal dengan harapan dan doa agar perjalanan baru ini diliputi berkah dan kekuatan.
Rasa rindu pada teman-teman Kalifa Community pun menyeruak. Kalifa bukan sekadar komunitas bagi kami; di dalamnya terkandung semangat kolektif untuk membangun paradigma kritis yang bertujuan mewujudkan masyarakat mandiri dan berdaya.
Kami adalah sekumpulan aktivis pergerakan yang waktu itu bercita-cita tinggi, melihat masyarakat bukan sebagai objek pasif, tetapi sebagai subjek yang memiliki kekuatan dan potensi untuk membangun dirinya sendiri. Di komunitas itu, kami saling menguatkan dalam perjalanan masing-masing, saling berbagi pengalaman, ide, dan energi.
Tak terasa, sebelas tahun telah berlalu. Rumah kontrakan itu kini menjadi kenangan, sekarang sudah ada rumah sendiri yang kami tempati, meski sederhana dan bisa dikatakan masih setengah jadi.
Dari pasangan dua orang, kini keluarga kami bertambah menjadi lima dengan kehadiran tiga anak. Namun, melihat kembali foto itu, saya tersadar bahwa perjalanan untuk memaknai kehidupan ternyata jauh lebih panjang dan berliku dari yang dulu saya bayangkan. Kehidupan tidak sesederhana romantisme dalam foto atau angan-angan ideal di masa muda.
Memaknai kehidupan ternyata bukan sesuatu yang bisa dipelajari sekali lalu selesai. Hidup mengajarkan banyak hal dalam wujud yang tak selalu mudah dipahami, kadang datang melalui momen-momen sulit, keputusan berat, dan bahkan kegagalan.
Ada saatnya kita merasa sudah memahami suatu pelajaran, namun hidup datang dengan ujian baru yang menggugurkan pemahaman lama dan menantang kita untuk belajar ulang.
Saya menyadari bahwa memaknai kehidupan adalah proses yang berulang, suatu siklus belajar yang tiada henti. Di satu titik kita merasa paham, namun di titik berikutnya kita harus siap meruntuhkan pemahaman lama dan menerima hal-hal baru yang datang tanpa permisi.
Satu pelajaran yang terus melekat di hati adalah bahwa hidup tidak pernah berhenti mengajarkan kita. Dari tugas sebagai pasangan, menjadi orang tua, hingga kembali menguatkan tekad dalam pekerjaan atau panggilan hidup, setiap fase selalu memunculkan tantangan baru yang mendorong kita untuk terus bertumbuh.
Di tengah perjalanan itu, kita mungkin merasa lelah, bertanya-tanya kapan akan tiba saat di mana kita sepenuhnya memahami apa yang kita cari.
Namun, justru dalam keletihan itu terkandung makna terdalam, bahwa hidup adalah tentang bergerak, terus menerus berusaha untuk memahami, meski jawaban akhir mungkin tidak pernah kita temukan.
Belajar memaknai kehidupan adalah proses yang harus diterima dengan rendah hati. Kita tidak selalu tahu atau mengerti, dan terkadang hanya bisa mencoba menjalani.
Kesadaran ini mengajarkan saya bahwa ada hal-hal yang harus diterima meski belum sepenuhnya kita pahami, dan ada momen di mana kita hanya bisa berserah tanpa kehilangan semangat untuk berjuang.
Jadi, dalam perjalanan hidup ini, saya belajar untuk menerima ketidaksempurnaan dan mengubahnya menjadi motivasi untuk terus maju.
Sebelas tahun lalu, di depan rumah kontrakan itu, saya berpikir bahwa saya mengerti apa yang sedang saya jalani. Kini, saya sadar bahwa belajar hidup adalah panggilan yang tidak pernah selesai.
Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah menjalani setiap hari dengan kesadaran penuh, membuka hati untuk belajar dari setiap momen, dan menyadari bahwa setiap detik yang kita jalani adalah kesempatan untuk lebih mendalam memaknai kehidupan yang fana ini.
Minggu, 28 Oktober 2024