Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertarungan yang Tak Pernah Usai

 

Ilustrasi

Di dalam diri kita, ada sebuah gelanggang sunyi

tempat dua suara bertarung tanpa tepuk tangan,

tanpa sorak kemenangan.

Yang satu membawa lentera—

kerap redup, tapi tetap bertahan.

Yang satu lagi menyelinap pelan

seperti bayang-bayang yang menunggu

ketika langkah kita sedang goyah.


Hidup, rupanya, bukan sekadar perjalanan ke luar,

melainkan perjalanan masuk ke lorong batin,

tempat segala bisik dan gelora tersimpan.

Di sana kita selalu bernegosiasi

dengan rasa cemas, dengan ambisi,

dengan dendam yang kadang ingin tumbuh,

dengan kelelahan yang suka berkhianat

kepada niat baik yang kita rawat.


Ada saat-saat ketika gelap terasa lebih mudah dipilih:

lebih cepat, lebih praktis,

kadang bahkan terlihat lebih adil—

padahal sebenarnya hanya meminjam amarah kita

untuk membangun kehancurannya sendiri.

Begitulah hidup sering memancing kita,

untuk menukar nurani dengan m pintas.


Namun setiap manusia membawa bara kecil:

sebuah kesadaran yang tak mau padam,

bahwa kita tidak diciptakan

untuk menanam kejahatan dalam tanah hati.

Ia berbisik perlahan,

mengingatkan bahwa kekuatan terbesar manusia

bukan pada otot, bukan pada suara keras,

melainkan pada kemampuanmm

melawan dirinya sendiri.


Maka di tengah pertarungan batin—

di sela ragu dan harapan yang berkejaran—

kita belajar menegakkan keberanian

yang paling sunyi:

keberanian untuk berkata tidak

kepada bisikan yang ingin mencelakakan,

keberanian untuk membela yang benar

meski hati sendiri belum sepenuhnya tegar.


Sebab kejahatan, sesederhana apa pun bentuknya,

selalu dimulai dari fikiran

yang dibiarkan tumbuh tanpa penjagaan.

Dan kebaikan, betapapun rapuhnya,

akan selalu menjadi cahaya pertama

yang menolak tunduk.


Di akhir perjalanan ini,

kita akhirnya mengerti:

pertarungan paling berat

bukan melawan dunia,

tetapi melawan diri sendiri—

menolak kejahatan

sebelum sempat mendapat tempat,

melawannya sejak masih berupa ide,

sejak masih berupa bisik paling kecil

di ruang paling dalam

di hati kita.


Sebab hanya dengan begitu

kita benar-benar hidup

sebagai manusia.